Jika anda defisit akal sehat namun surplus harta kekayaan, apa yang akan anda lakukan ketika anda membenci seseorang atau sebuah kelompok? Salah satu pilihannya mungkin membeli jasa pembuatan dan penyebaran berita bohong alias hoax.
Atau seandainya anda defisit akal sehat, plus melarat secara ekonomi, tapi ingin cepat kaya, salah satu pilihannya mungkin membuka (supply) bisnis jahat untuk memenuhi kebutuhan (demand) para pembenci yang defisit akal sehat dan surplus harta kekayaan itu.
Kita barangkali tidak tahu pasti apakah pengguna dan penyedia jasa berita bohong itu memikirkan buntut dari kejahatan mereka. Yang jelas, dampak dari berita bohong tidak sederhana dan jangka pendek. Mulai dari terpicunya perpecahan dalam masyarakat sampai mewabahnya kebodohan akut.
Cepatnya laju berita di era digital membuat kita tidak bisa menutup mata pada ‘galaknya’ berita bohong yang diedarkan. Yang lebih mengkhawatirkan, persoalan ini justru menjadi ladang bisnis. Ada permintaan dan ada penyedia.
Dua hari lalu, Rabu (23/8), Polri membeberkan sepak terjang tiga orang pelaku penyebar berita bohong yang tergabung dalam kelompok Saracen.
Menurut Kabag Mitra Divhumas Polri Kombes Awi Setiyono, mereka menyebar berita bohong yang bermuatan ujaran kebencian dan SARA. Tarif mereka mulai dari Rp 74 juta sampai Rp 100 juta. Para pelakunya mengaku melakukan kejahatan itu demi uang.
Ketua Communication and Information System Security Research Center (CISSReC) Pratama Pershada menyatakan, para pelaku bisnis berita bohong merupakan orang-orang yang mampu melihat peluang dari signifikansi internet dan media sosial--walaupun peluang itu dalam arti kriminal.
“Ada fenomena dia mengerti sekali memanfaatkan teknologi untuk kejahatan. Mereka mengerti algoritma di internet. Ketika orang mengerti teknologi, bagaimana menggerakkan akun media sosial dengan aplikasi teknologi, maka kemudian orang bisa menawarkan tarifnya,” kata Pratama kepada kumparan, Kamis (24/8).
Selain aspek teknis pemahaman mengenai teknologi digital, menurut Pratama, sebetulnya peluang bisnis jahat ini juga ditopang oleh kecenderungan karakteristik dari masyarakat itu sendiri. Di tengah belantara berita yang beredar cepat, setiap orang ingin menjadi yang tercepat dalam menyebarkan berita. Artinya, yang terjadi adalah bukan manusia yang menentukan instrumen berita, melainkan sebaliknya.
“Masalahnya orang Indonesia merasa menjadi orang hebat ketika dia berhasil jadi orang pertama yang share suatu berita ke orang lain,” ujar Pratama.
Dari segi faktor permintaan, Pratama yakin bisnis ini bagaimanapun akan tetap tumbuh di waktu-waktu mendatang. Ia menyebut, banyak pihak yang memang memiliki kepentingan-kepentingan dan begitu menikmati ‘manfaat’ dari kejahatan yang cukup efektif ini. Jadi, bukan cuma soal faktor cari untung si penyedia jasa.
Bisnis berita bohong, misalnya, akan panen keuntungan ketika sebuah pesta politik dilakukan seperti Pilkada dan Pilpres. Saracen merupakan satu contoh bagaimana isu SARA digerakkan melalui bisnis ini pada berbagai perhelatan pesta demokrasi.
“Apalagi nanti ada Pilkada dan Pilpres. Wah, lebih banyak lagi nanti (bisnis berita bohong),” seru Pratama.
Keuntungan yang diperoleh dari membuat berita bohong berdasarkan pesanan pihak tertentu, sudah jelas ada tarifnya. Namun, bisnis ini tidak cuma mendapatkan keuntungan dari tarif pesanan itu. Melainkan juga memetik uang dari iklan-iklan yang ditayangkan.
Namun, motif keuntungan ekonomi juga utama di balik berita bohong: pembuatnya dapat menghasilkan banyak uang dari pendapatan iklan yang berasal dari lalu lintas pengguna internet ke situs mereka. Pembuat berita bohong akan menekankan keuntungan luar biasa yang dilakukan dengan membuat berita itu viral, misalnya yang paling menonjol melalui Facebook.
Katherine menyebut pendapatan iklan bergambar yang dihasilkan oleh situs berita bohong bisa mencapai 10.000 dolar AS sampai 30.000 dolar AS per bulan, atau sekitar Rp 133 juta hingga Rp 400 juta. Seorang remaja Macedonia yang membuat situs berita bohong, bahkan mengatakan bahwa pendapatan iklan bisa mencapai ribuan dolar per hari atau minggu.
Skemanya sederhana, Katherine menggambarkannya sebagai berikut: seorang individu atau kelompok menerbitkan berita bohong di situs mereka, lalu menyebarkannya melalui media sosial, baik yang tak berbayar maupun berbayar sebagai iklan, semisal melalui Facebook. Selanjutnya, pengguna Facebook akan mengklik tautan yang diiklankan dan pergi ke situs berita bohong tersebut. Maka situs berita bohong memperoleh pendapatan dari tayangan iklan yang dihasilkan di situsnya.
Katherine menambahkan, pembuat situs berita bohong juga memiliki group atau fanpage di Facebook untuk mempromosikan situsnya. Dengan begitu, mereka menjaring pengguna secara masal dan membangun lalu lintas ‘organik’ pengunjung situs--lalu lintas yang tak perlu diarahkan lagi, sebab dengan sendirinya para pengguna akun akan membagikan tautan itu di akun mereka masing-masing.
“Mereka dapat berbagi tautan (berita bohong) ini ke jaringan Facebook mereka sendiri, melanjutkan jangkauan ‘organik’. Ini adalah cara sesuatu ‘menjadi virus’.”
Ketika sebuah group atau fanpage di Facebook ramai dengan aktivitas pengguna, seperti komentar dan like, maka ada perusahaan-perusahaan yang menghubungi si empunya group atau fanpage tersebut untuk memasang iklan. Alhasil, keuntungan yang didapat bukan saja dari tarif pemesan dan iklan yang ada di situs berita bohong tersebut. Tetapi juga dari iklan di media sosial mereka.
Apa yang dinilai Pratama Pershada dan Katherine Haenschen tentang keterkaitan antara bisnis berita bohong dan politik, tampaknya perlu menjadi perhatian yang tak bisa dikecilkan. Tak hanya di Indonesia, pada Pemilu Presiden AS 2016 lalu, digambarkan berita bohong merupakan serangan harian yang difabrikasi dan dirancang untuk mengangkat atau mencela kandidat presiden tertentu.
Berita-berita bohong yang memiliki kepentingan politik terutama akan menargetkan hiper-partisan alias orang-orang pengikut setia sebuah kelompok. Cerita-cerita itu dirancang untuk dipercaya dan disebarluaskan. Dikatakan bahwa jangkauan berita bohong yang mengkhawatirkan itu membuat para kritikus di AS menuduh Facebook, dan pada tingkat yang lebih rendah Google, memengaruhi pemilihan umum dengan memberi insentif pada berita politik bohong.
Carroll memperkirakan, sebuah berita bohong dari kampanye Trump dapat menghasilkan pendapatan tambahan sebesar 10.000 dolar AS untuk hoaxer (penyebar berita bohong), asalkan mereka memanfaatkan sepenuhnya layanan iklan yang tersedia.
“Itu adalah insentif ekonomi yang besar untuk menciptakan cerita yang ingin mereka distribusikan,” ujar Carroll.
Bisnis berita bohong sudah menjadi fenomena global. Selama permintaan tidak surut, muncul dugaan bisnis ini akan terus laku dalam waktu mendatang. Terlebih lagi, menurut Pratama, bisnis ini menjadi salah satu cara efektif untuk melancarkan kepentingan-kepentingan tertentu.
Syarat untuk menggembosinya, kata dia, pemerintah mesti menegakkan hukum yang mengatur itu. “Tergantung pemerintah. Kita kan ada UU ITE, kita punya pemerintah untuk menegakkan peraturan itu. Jangan orang sudah ketahuan membuat dan menyebarkan berita bohong, tapi tidak ditindak tegas sesuai peraturan.”
Di samping segi hukum, kata dia, bisnis berita bohong juga bisa dijegal secara teknis menggunakan teknologi yang bisa menyaring berita-berita di internet. Di negara-negara yang sudah memiliki badan siber yang mantap, teknologi itu sudah digunakan, walaupun diakui ongkosnya besar.
Tantangan melawan bisnis berita bohong mungkin masih akan menemui jalan panjang. Pelakunya pun barangkali lebih elite dan sarananya lebih canggih. Beritanya bukan lagi sekadar dalam bentuk tulisan atau gambar yang melalui serangkaian editan, tapi juga hadir dalam bentuk audio dan audio-visual.
Rob Price--penulis artikel itu, seorang jurnalis senior yang berfokus di bidang teknologi bisnis, kebijakan dan ekonomi--mengatakan, CGI dan AI berkembang pesat, dan di tahun-tahun mendatang akan semakin mudah bagi para penjahat dan propagandis untuk menciptakan audio dan video palsu--menciptakan potensi keraguan yang belum pernah terjadi sebelumnya mengenai keaslian media visual.
Kebanyakan orang, menurutnya, memercayai apa yang mereka tonton, walaupun itu tak akan selalu terjadi. Perkembangan teknologi pun akan memudahkan pembuatan rekaman video palsu dari tokoh masyarakat atau audio suaranya. Meski belum sempurna, hal itu akan menjadi landasan pacu bagi percepatan berita bohong dan meningkatkan tipu daya secara online.
Pada Juli lalu, peneliti di Universitas Washington tampil sebagai
0 Response to "Saracen dan Gurita Bisnis Hitam Berita Hoax - Kumparan.com (Siaran Pers) (Pendaftaran) (Blog)"
Post a Comment