Hoax, Pilkada dan Kebencian-Kebencian Politik - Okezone

BANDUNG - ‎Baru-baru ini, polisi mengungkap sindikat penebar kebencian yang beroperasi di media sosial. Nama sindikat itu adalah Saracen. Dari hasil penyelidikan, mereka bergerak tidak sembarangan, tapi tersusun rapi dan terorganisir.

Modus yang dilakukan oleh pelaku dalam membuat propaganda di media sosial itu dengan meme bermuatan SARA. Meme itu dibuat banyak untuk disebar ke grup-grup baru yang dibuat oleh pelaku.

Terkait itu, Polrestabes Bandung, memiliki jurus tersendiri guna memerangi setiap berita hoax, dan berita-berita penebar kebencian yang kerap berkeliaran di media-media sosial di Kota Bandung.

"Di Bandung tentunya kita Reserse melaksanakan patroli di medsos mengingatkan masyarakat untuk tidak mengikuti melakukan fitnah mengirim data-data yang tidak benar, menghasut seperti yang ditangkap mabes," jelas Kapolrestabes Bandung, Kombes Pol Hendro Pandowo, saat di temui di Bandung, Jumat (25/8/2017).

Hendro menyebutkan, selain melakukan imbauan-imbauan di media sosial, ia memiliki media sosial, yang berguna untuk mengklarifikasi berita-berita hoax.

"Kita punya medsos mengklarifikasi menjawab dan meneruskan berita yang ga benar, berita bohong," ungkapnya.

Fenomena berita hoax serta berita-berita penebar kebencian semakin marak di media sosial, terutama di media-media sosial dalam jaringan internet. Saracen sendiri seperti yang di kutip di Wikipedia adalah istilah yang digunakan oleh orang Kristiani Eropa terutama pada Abad Pertengahan untuk merujuk kepada orang yang memeluk Agama Islam (tanpa memperdulikan ras atau sukunya).‎

Pakar Ilmu Komunikasi, Doktor Deddy Djamaluddin Malik, menyebutkan‎ fenomena seperti Saracen muncul dikarenakan masyarakat Indonesia, merupakan masyarakat yang 'Multi Etnik'.

Dengan multi etnik itu berarti ada ragam gaya orientasi budaya dan adat istiadat yang berbeda. Lalu multietnik itu kemudian diwadahi oleh wadah politik yang banyak. Wadah politik yang banyak berarti aspirasi dan kepentingan politik yang berbeda-beda

"Bahwa kesenjangan ekonomi di Indonesia makin tidak tuntas, akumulasi dari seluruh kompleksitas ini terwadahi, ketidakpuasan ini dimunculkan melalui media yang sangat murah mudah dan cepat," kata Deddy.

Dalam kondisi seperti ini, aspek rasionalitas itu menjadi viral karena yang terjadi itu ialah kekecewaan-kekecewaan lalu ambisi-ambisi politik yang tadi menggunakan isu SARA.

"Kenapa isu SARA dipakai? Karena itulah yang paling efektif untuk melemahkan lawan, itulah yang terjadi sekarang ini. Jadi ini akibat dari memang selama ini politik itu wilayah tingkat tinggi dan urusan elit. Waktu media konvensional seperti koran televisi itu berjaya, sekarang semenjak ada medsos semua ikut aktif," ucapnya

"Yang tadinya tidak bisa ngomong, sekarang ngomong, tidak dipikirkan ngomongnya gimana, ngomongnya rasional atau tidak, berdampak jauh, melawan hukum atau tidak, pokoknya keluarin aja dulu. Nah itulah kasus-kasus yang terjadi saat ini sering menjadi masalah hukum," sambungnya‎.

Disinggung soal peran media sosial, dalam penyebaran berita ujaran kebencian ini, Deddy menuturkan, peran medsos dalam penyebaran berita ujaran kebencian ini, sangat besar.

‎"Justru sebetulnya kan Hoax, speechhate, kebencian-kebencian itu terjadi di medsos karena tidak ada filter. Kalo di media konvensionalkan kita nulis apa-apa langsung diedit, nah kalo di media sosial itu tidak, baru sadar salah ketika sudah dipublish, problemnya di situ, Karena itu pemerintah, mana ini yang lebih membahayakan misalnya. Tidak bisa kita mengatakan menjamin kebebasan berbicara ketika memang orang yang melakukan atau mau melakukan atau orang yang bebas berbicara itu atas nama kepentingannya bukan ideologinya bukan Pancasila‎," tuturnya.

‎Ia pun tidak menampik saat disinggung adanya berita hoax dan ujaran kebencian ini, dilatarbelakangi oleh organisasi, atau partai politik disaat situasi Pilgub serentak dan menjelang Pilpres 2019.

"Sangat mungkin, karena politik itu memengaruhi dan itu harus dibuat by design, isi pesannya apa kemana didistribusikan di media apa saja. Misalkan, sekarang isu mengenai PKI diangkat-angkat, tapi faktanya kita tidak pernah memiliki fakta yang jelas tentang gerakan PKI," ujar dia.

Dengan terus menerus dibahas opini-opini tersebut, lanjut Deddy, akhirnya masyarakat pun percaya. Dan disitulah masuk‎ propaganda seribu kebohongan yang diulang-ulang menjadi suatu kebenaran.

"Untuk apa itu semua? Untuk mendeligitimasi pemerintahan yang ada sekarang, bahwa memang perbedaan politik waktu pilpres kemarin belum selesai. Contohnya kasus Ahok, sekarang Ridwan Kamil dengan Nasdem yang isunya partai pendukung kafir dan penista agama, itu isu yang diangkat," jelasnya.

Untuk menekan soal berita hoax dan ujaran kebencian yang telah merambah di masyarakat, Deddy menyebutkan perlu ada pengetatan dari pemerintah tentang media sosial.

"Tapi tidak memberangus kebebasan berbicara. Jadi pemerintah konsen dan harus tetap menjaga kebebasan berbicara karena itu sudah dijamin oleh undang," ungkapnya.

Deddy pun menekankan, masyarakat harus dapat melawan dengan cara mengembangkan media literasi, yakni dengan meni‎ngkat pemahaman khalayak itu.

"Kalau dia mendapatkan informasi hendaknya ia mencek informasi tersebut dahulu apakah benar dan akurat atau tidak, cek n ricek, kemudian ‎jangan dulu merespon sebelum mendapatkan informasi yang akurat dan ‎menyadari bahwa tidak ada yang netral dalam komunikasi, tidak ada pesan yang netral apalagi sekarang mau pilkada serentak‎," ungkapnya.

(kha)

HALAMAN 2

0 Response to "Hoax, Pilkada dan Kebencian-Kebencian Politik - Okezone"

Post a Comment