Ketika Paus Bicara Jurnalisme dan Hoax - rilis.id (Siaran Pers)

RILIS.ID, Jakarta— Dalam rangka memperingati Hari Komunikasi Sedunia, pada 24 Januari lalu, pemimpin Gereja Katolik Paus Fransiskus mempublikasikan sebuah pesan. Pada momentum itu, Paus berbicara kuat soal "berita palsu (hoax) dan jurnalisme untuk perdamaian". 

Menurutnya, komunikasi adalah simbol persahabatan. Namun, ia melihat, dunia berputar begitu deras. 

Dunia komunikasi manusiawi saat ini telah menyusut ke ruang digitalisasi. Konsekuensi dari perubahan drastis itu memunculkan masalah baru dalam komunikasi yang ia sebut berita palsu atau hoax.

Dia melihat, hoax adalah penyakit serius yang mengacaukan pola komunikasi manusia saat ini. Untuk mengobati penyakit itu, dibutuhkan stabilisator yang mampu menyampaikan informasi secara bertanggungjawab. Tugas itu menurutnya berada di pundak jurnalis.

"Di zaman ini, apa yang mereka lakukan bukan hanya untuk bekerja, tapi untuk mengemban misi," ucap Paus dalam pesan itu.

"Mereka harus mengingat betul, inti dari informasi bukanlah soal kecepatan. Menyampaikan informasi berarti ikut membentuk manusia. Artinya, informasi selalu berkenaan dengan menyentuh kehidupan manusia," lanjutnya.

Dalam konteks itu, ia menyerukan para jurnalis agar memegang kuat apa yang ia sebut sebagai "jurnalisme perdamaian".

Jurnalis senior Etis Nehe mencoba mengartikulasikan pesan Paus. Baginya, aktivitas jurnalistik memiliki nilai luhur dari apa yang umum didefinisikan orang kebanyakan dewasa ini. 

"Jurnalistik bukanlah sekadar bisnis distribusi informasi, tapi pertanggungjawaban terhadap kehidupan dan kepada sesama manusia," tuturnya kepada rilis.id, Jum'at (26/1).

"Siapapun yang terlibat dalam jurnalistik memikul tanggung jawab moral itu. Apakah menuju kebaikan atau kerusakan, jurnalis[tik] ikut bertanggungjawab atasnya," lanjut mantan jurnalis Investor Daily itu.

Etis sepenuhnya sependapat dengan Paus, bahwa berita palsu memberikan dampak kerusakan yang besar bagi manusia. 

Kerusakan itu bahkan tidak bisa diperbaiki dengan memberi hak jawab, koreksi, atau berita sanggahan, seperti yang umumnya difasilitasi media ketika keliru dalam memberitakan.

"Tidak bisa hanya berlindung di balik mekanisme sanggah berita. Sebab, seringkali sanggahan atau perimbangan berita setelah berita palsu beredar tidak sebanding dengan kerusakan yang telah terjadi," jelasnya.

Etis meyakini, jurnalis tidak bisa sepenuhnya berpegang pada asumsi: “baik atau buruk, berguna atau tidak, palsu atau nyata, biar pembaca yang memutuskan.”

"Karena tidak semua pembaca sama dewasa dalam memahami dan merespons berita," terang Etis.

Dalam kesimpulannya, Paus menekankan, upaya menyampaikan informasi secara akurat sejalan dengan menumbuhkan rasa percaya dan membuka jalan bagi kebersamaan.

Penulis Syahrain F.

Tags:

jurnalismeberita palsu

HALAMAN 2

0 Response to "Ketika Paus Bicara Jurnalisme dan Hoax - rilis.id (Siaran Pers)"

Post a Comment