Maraknya berita bohong (hoax) maupun perundungan (bullying) di era media sosial telah menjurus pada perpecahan dan integritas berbangsa dan bernegara. Oleh kerananya konten yang tidak bertanggung jawab harus diperangi.
Media sosial memang ibarat pedang bermata dua karena dapat banyak bermanfaat bagi penggunanya tapi dapat pula digunakan untuk menyebarkan hal-hal negatif. “Kita harus menjadi masyarakat yang lebih kritis, bijak, dan selalu cross check terhadap informasi yang kita terima,” kata, Group Head Corporate Communications Indosat Ooredoo Deva Rachman, belum lama ini.
Untuk memberikan sanksi kepada penyebar berita bohong, sudah terdapat UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No. 19 tahun 2016 sebagai perbaikan dari UU No.18 tahun 2008, dengan jelas mengatur bagaimana cara menggunakan media sosial dengan benar. “Pemerintah, masyarakat di semua segmen, hingga penyedia platform harus bergerak bersama,” ujar Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara.
Hulu dari berita bohong adalah literasi yang rendah. Namun demikian tidak semua harus memerangi berita bohong cara yang bisa dipakai adalah menerapkan pendekatan keras (hard pproach), baik dengan pemblokiran dan upaya hukum dari sisi hilir.
Pada sisi hulu pemerintah telah membuat sistem Trust+ yang kini berisi 800 ribu daftar hitam (black list). Pemerintah juga telah membuat daftar internet positif yaitu daftar konten yang layak diakses oleh pengguna internet di Tanah Air. “Mudah-mudahan dalam 2-3 tahun ke depan daftar positif ini sudah melebihi black list,” ujar Rudiantara.
Untuk memerangi hoax, MUI menerbitkan Fatwa MUI nomor 24 tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah (urusan kemasyarakatan) melalui media sosial. Salah satunya berisi bahwa setiap muslim yang bermuamalah lewat media sosial diharamkan melakukan ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan.
MUI juga mengharamkan aksi perundungan, ujaran kebencian, serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras, atau antargolongan. “Kami mengajak lembaga-lembaga lain untuk bekerja sama meniadakan konten negatif yang berujung pada keresahan masyarakat tersebut,” ujar Ketua MUI (Majelis Ulama Indonesia) KH Masduki Baidlowi.
Komisioner BRTI (Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia) Agung Harsoyo, mengatakan cara meredam berita bohong adalah dengan memperbaiki aturan registrasi pelanggan telekomunikasi dengan pemberlakukan IPv6 sebagai digital identity dan memudahkan tracking pengguna internet yang negatif.
Twitter media sosial yang banyak dipakai memiliki sistem filterisasi konten. Dengan demikian konten negatif tidak beredar. “Secara global kami telah memblokir sejuta akun terkait terorisme dan kekerasan,” kata, Public Policy Lead Twitter Indonesia Agung Yudha.
Ia menambahkan semestinya pengguna aplikasi juga membaca rules and term of services sebelum menggunakan layanan. Karena Twitter memiliki aturan tentang conservation yaitu ketika posting itu sudah menjadi konsumsi publik.
Deva menilai perlu kontribusi industri telekomunikasi dan pelaku OTT untuk menggagas dan membedah etika dan budaya bermedia sosial yang lebih bijak dalam konteks ke Indonesiaan, sehingga diharapkan ada tatanan baru dalam penerapan etika bermedia sosial yang sesuai budaya Indonesia.
Lebih jauh ia berharap ada kesepakatan mengenai etika bersosial media karena untuk payung hukum maupun fatwa sudah tersedia. Sosialisasi gerakan etika bersosial media harus menjadi gerakan nasional yang masif dan selalu diingatkan kepada pengguna media sosial di Tanah Air. hay/E-6
0 Response to "Solusi Internet Positif untuk Perangi “Hoax” - Koran Jakarta"
Post a Comment