PROKAL.CO, MEDIA sosial (medsos) sejatinya membuat hidup lebih mudah. Seluruh isi dunia bisa dilihat hanya dari layar monitor. Era sekarang, bahkan sangat sulit menjumpai orang yang tidak punya akun medsos. Namun, di tengah gegap gempita itu, ada banyak dampak negatif yang disebabkan aktivitas di medsos, seperti munculnya ujaran kebencian (hate speech) dan penyebarluasan konten hoax (berita bohong).
Pengamat medsos dari Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Annisa Wahyuni Arsyad mengatakan, medsos dibuat dengan tujuan mulia, yakni untuk memperluas jaringan. Memudahkan berbagi informasi dengan kerabat. Bahkan, dapat digunakan untuk hal lain, seperti membangun personal branding maupun bisnis.
“Medsos itu seperti pisau bermata dua. Kalau digunakan untuk hal yang positif, bagus. Tapi, kalau digunakan untuk hal negatif, justru menakutkan,” ujar Icha, begitu disapa, kemarin (20/8).
Kemunculan fenomena ujaran kebencian dan penyebaran konten hoax yang begitu masif, menurut dosen Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (FISIP) Unmul itu tak lepas dari keterbukaan informasi publik yang begitu luas. Masyarakat bebas menanggapi informasi yang diperoleh melalui medsos. Namun, cara menyampaikannya kelewat batas alias kebablasan, tanpa memikirkan dampaknya.
Kondisi tersebut, tambah dia, diperparah dengan kebiasaan mayoritas pengguna di Indonesia yang suka ribut di medsos. Mudah tersulut karena perbedaan pendapat. Salah satu medsos yang kerap memicu pertengkaran dan viral itu adalah Facebook. Tak sedikit kasus saling lapor karena merasa dihina atau dilecehkan.
Apalagi, pendistribusian begitu cepat sehingga mudah memancing kontroversi kepada banyak pihak. Bahkan, terbitnya Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), edaran kepolisian, hingga fatwa ulama sampai kini belum mampu membendung dampak negatif dari medsos tersebut.
“Kampanye menggunakan medsos secara bijak harus digalakkan. Menerbitkan UU, edaran polisi, hingga fatwa ulama tidak cukup. Sementara sosialisasinya tidak sampai ke masyarakat bawah,” sebutnya.
Kemunculan ujaran kebencian dan konten hoax, lanjut dia, juga tidak lepas dari sikap pemerintah yang tidak tegas memberikan contoh. Bahkan, bertindak represif dengan menangkap para pelaku. Padahal, meski ditangkap, masalah ujaran kebencian dan penyebarluasan konten hoax tetap tidak mengurangi dampak negatif medsos tersebut.
Pengamat hukum dari Unmul Samarinda Hairan menuturkan, berbicara medsos aturannya merujuk UU ITE. Segala komunikasi di dalamnya selalu dikontrol negara. Sekarang ini, menurutnya, medsos dijadikan ajang bernilai negatif. Dalam istilah demokrasi, kebablasan. “UU ITE untuk membatasi perilaku itu (kebablasan). Aturan itu sudah cukup mengakomodasi materiil medsos,” katanya.
Kini, disebutnya, tinggal pelaksanaan penegakan hukum. Penindakan tak hanya secara hukum formil, pun materiil. Di kepolisian, ada unit tim cyber yang memiliki tugas untuk menindak kejahatan di dunia maya. Menurutnya, diperlukan kemampuan teknologi yang canggih untuk penegakan hukum terhadap medsos.
Di samping itu, masyarakat juga perlu diberikan pendidikan sosial, etika, dan moral. Dengan begitu, dapat menangkal komentar tanpa batasan dan tak sepantasnya yang merugikan orang lain. Sebab, bahasa kini tak hanya verbal, juga tertulis. Yang bahaya adalah ketika dibaca banyak orang menimbulkan multitafsir. “Saya kira secara hukum sudah cukup efektif. Ada beberapa konten berbau radikalisme dan pornografi yang sudah diblokir,” sebutnya.
Mengenai hal lain yang bersifat privat, kembali kepada pihak yang merasa dirugikan dari komentar yang termuat di medsos. Bisa dikenakan pasal perbuatan tidak menyenangkan atau pencemaran nama baik. Nah, untuk itu, perlu pengaduan karena bersifat delik aduan. “Bukan laporan yang bisa langsung ditindaklanjuti,” ucap pengampu mata kuliah hukum pidana Fakultas Hukum Unmul Samarinda itu. (*/him/ril/rom/k11)
0 Response to "Jadi Alat Sebarkan Hoax - Kaltim Post"
Post a Comment